Jakarta
Komisi II DPR telah merampungkan pemilihan calon anggota
KPU untuk periode 2012-2017. Berikut tujuh komisioner KPU hasil voting
yang dihadiri oleh 53 anggota Komisi II pada Kamis (22/3/2012) malam.
Dalam
pemilihan yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi II Agun Gunandjar
ini, setiap anggota komisi berhak untuk memilih tujuh kandidat yang ada.
Sigit Pamungkas dan Ida Budiati mendapatkan perolehan suara terbanyak
dengan sama-sama mengoleksi 45 suara.
Berikut daftar lengkap tujuh komisioner KPU beserta perolehan suaranya:
Sigit pamungkas 45
Ida Budiati 45
Arief Budiman 43
Husni Kamil malik 39
Ferry Kurnia 35
Hadar Nafis gumay 35
Juri Ardiantoro 34
Ada pun tujuh kandidat lainnya, yakni Hasyim Asyari (32), Ari Darmastuti (31) Enny Urbaningsih (23) Muhammad najib (3)
Zainal Abidin (1) Moh Adhy Syahputra Aman (1) dan Evie Aridne Shinta Dewi 0, harus rela tersisih.
Senin, 26 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN BARU SAKA 1934
(foto;kertagosa.. dr IGedeNurhadiWebBlog) |
OM SUASTIASTU
KAMI JAJARAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KLUNGKUNG MENGUCAPKAN
SELAMAT HARI RAYA NYEPI TAHUN SAKA 1934
(23 Maret 2012)
NGIRING ANTUK CATUR BRATA PENYEPIAN, UMAT HINDU DAN UMAT BERAGAMA BISA MENGENAL DIRI SENDIRI DAN MENCINTAI ORANG LAIN DENGAN TULUS IKLAS DAN MELETARIKAN ALAM SEKITAR
(BIARKAN ALAM UNTUK ISTIRAHAN DALAM SEHARI (24 JAM) AGAR BISA LEBIH SEGAR KEDEPAN)
OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM
Senin, 19 Maret 2012
Batasi Pengeluaran Dana Kampanye Lewat RUU Pemilu
JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang pemilihan umum,
partai politik maupun kadernya dinilai melakukan pemborosan dana
kampanye. Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
dulu pada sistem Pemilu 1999 kampanye hanya dilakukan oleh partai
politik sehingga biaya politik menjadi lebih terjangkau. Namun, pada
Pemilu 2009, selain partai politik, para calon anggota legislatif juga
berkampanye. Hal ini mengakibatkan penambahan dana kampanye. Ini
mengakibatkan kemungkinan penyimpangan dalam mencari dana maupun
ketimpangan diantara kalangan parpol. Di mana hanya parpol berduit yang
memenangkan pemilu.
"Harus ada pembatasan dana kampanye. Bukan hanya dari penerimaan seperti yang ada dalam UU Pemilu terdahulu. Pembatasan juga harus dilakukan dari sisi pengeluaran atau belanja parpol. Dengan membatasi pengeluaran, seorang calon juga tidak perlu mencari dana sebanyak-banyaknya," ujar Peneliti Perludem, Didik Supriyanto, dalam diskusi "Membatasi Belanja Kampanye Pemilu" di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (18/3/2012).
Oleh karena itu, Perludem memberikan beberapa masukan yang diharapkan dapat dipertimbangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam hal belanja partai politik. Pertama, kata Didik, pembatasan berdasarkan jabatan publik yang diperebutkan dalam pemilu. Contohnya, calon presiden sebesar 50 miliar dollar AS, calon gubernur 25 miliar dollar AS, dan wali kota 10 miliar dollar AS. "Pembatasan nilai memudahkan proses audit laporan keuangan para calon. Untuk RUU Pemilu, bisa saja menyumbang misalnya Rp 1 miliar per kandidat dan Rp 250 juta per DPP partai," jelasnya.
Selain itu, kata dia, pembatasan bisa dilakukan dengan berdasarkan daerah pemilihan. Semakin besar dapil, kian besar pula batas maksimal dana kampanye. Secara umum, tutur Didik, dapat dilakukan dengan menetapkan harga kampanye per pemilih dan dikalikan dengan jumlah pemilih di daerah tersebut. Pembatasan ini juga dapat dilakukan melalui cara negara, yaitu menyediakan ruang dan waktu untuk berkampanye di media massa dengan ketentuan ruang dan durasi yang sama bagi seluruh partai politik dan peserta pemilu.
"Saat ini parpol dan calon tidak bisa menghindari kampanye melalui media yang memakan biaya besar. Peran media sangat besar sehingga kadang tidak semua partai dapat membeli iklan kampanye terutama di televisi," kata dia.
Masa kampanye, menurut Didik, juga berperan penting dalam membatasi dana kampanye. Semakin panjang masa kampanye maka dana yang digelontorkan pun tidak sedikit. Oleh karena itu, masa kampanye harusnya dikurangi.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menilai pembatasan dana kampanye dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa sumbangan perseorangan kepada partai politik peserta pemilu maksimal Rp 1 miliar, sedangkan sumbangan badan usaha maksimal Rp 5 miliar. Menurut dia, angka penerimaan tersebut terlalu besar. "Terlalu besar batasannya sehingga harus diturunkan. Sekitar Rp 250 juta khusus untuk individu, dan badan hukum Rp 1 miliar," jelas Dahlan.
Ia berharap ide penurunan penerimaan dana ini dapat dipertimbangkan Pansus RUU Pemilu dalam membatasi dana Kampanye. Senada dengan Didik, kata dia, parpol sebaiknya tidak menggunakan cara instan dengan menggunakan iklan dan uang semata. Tapi menghitung kebutuhan sosialisasi per kepala pemilih sehingga dana yang keluar pun terjangkau. "Harapan kita dari Panja Komisi II agar ide soal menurunkan cost demokrasi pemilu bisa dimulai dari menurunkan standar penerimaan dan belanja parpol. Ini juga untuk mencegah penyimpangan seperti korupsi karena anggot parpol sibuk mencari dana," katanya.
"Harus ada pembatasan dana kampanye. Bukan hanya dari penerimaan seperti yang ada dalam UU Pemilu terdahulu. Pembatasan juga harus dilakukan dari sisi pengeluaran atau belanja parpol. Dengan membatasi pengeluaran, seorang calon juga tidak perlu mencari dana sebanyak-banyaknya," ujar Peneliti Perludem, Didik Supriyanto, dalam diskusi "Membatasi Belanja Kampanye Pemilu" di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (18/3/2012).
Oleh karena itu, Perludem memberikan beberapa masukan yang diharapkan dapat dipertimbangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam hal belanja partai politik. Pertama, kata Didik, pembatasan berdasarkan jabatan publik yang diperebutkan dalam pemilu. Contohnya, calon presiden sebesar 50 miliar dollar AS, calon gubernur 25 miliar dollar AS, dan wali kota 10 miliar dollar AS. "Pembatasan nilai memudahkan proses audit laporan keuangan para calon. Untuk RUU Pemilu, bisa saja menyumbang misalnya Rp 1 miliar per kandidat dan Rp 250 juta per DPP partai," jelasnya.
Selain itu, kata dia, pembatasan bisa dilakukan dengan berdasarkan daerah pemilihan. Semakin besar dapil, kian besar pula batas maksimal dana kampanye. Secara umum, tutur Didik, dapat dilakukan dengan menetapkan harga kampanye per pemilih dan dikalikan dengan jumlah pemilih di daerah tersebut. Pembatasan ini juga dapat dilakukan melalui cara negara, yaitu menyediakan ruang dan waktu untuk berkampanye di media massa dengan ketentuan ruang dan durasi yang sama bagi seluruh partai politik dan peserta pemilu.
"Saat ini parpol dan calon tidak bisa menghindari kampanye melalui media yang memakan biaya besar. Peran media sangat besar sehingga kadang tidak semua partai dapat membeli iklan kampanye terutama di televisi," kata dia.
Masa kampanye, menurut Didik, juga berperan penting dalam membatasi dana kampanye. Semakin panjang masa kampanye maka dana yang digelontorkan pun tidak sedikit. Oleh karena itu, masa kampanye harusnya dikurangi.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menilai pembatasan dana kampanye dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa sumbangan perseorangan kepada partai politik peserta pemilu maksimal Rp 1 miliar, sedangkan sumbangan badan usaha maksimal Rp 5 miliar. Menurut dia, angka penerimaan tersebut terlalu besar. "Terlalu besar batasannya sehingga harus diturunkan. Sekitar Rp 250 juta khusus untuk individu, dan badan hukum Rp 1 miliar," jelas Dahlan.
Ia berharap ide penurunan penerimaan dana ini dapat dipertimbangkan Pansus RUU Pemilu dalam membatasi dana Kampanye. Senada dengan Didik, kata dia, parpol sebaiknya tidak menggunakan cara instan dengan menggunakan iklan dan uang semata. Tapi menghitung kebutuhan sosialisasi per kepala pemilih sehingga dana yang keluar pun terjangkau. "Harapan kita dari Panja Komisi II agar ide soal menurunkan cost demokrasi pemilu bisa dimulai dari menurunkan standar penerimaan dan belanja parpol. Ini juga untuk mencegah penyimpangan seperti korupsi karena anggot parpol sibuk mencari dana," katanya.
Senin, 12 Maret 2012
Gubernur Tetap Dipilih Langsung
DENPASAR, NusaBali
Sabtu, 10 Maret 2012
KPU Bali memastikan Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2013 masih tetap menggunakan sistem Pilkada langsung alias dipilih langsung oleh rakyat. Soalnya, Rancangan Undang-undang ( RUU) Pemilu, yang di dalamnya mengamanatkan Gubernur dipilih melalui DPRD, hingga kini belum selesai. KPU Bali pun telah mengajukan anggaran Rp 133,11 miliar untuk Pilgub 2013.
Hal ini terungkap dalam diskusi ‘Proyeksi Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Bali 2013’---lebih akrab disebut Pilgub Bali 2013---yang digelar KPU Bali di Gedung Wiswasabha Utama Kantor Gubernur, Niti Mandala Denpasar, Jumat (9/3). Dalam diskusi yang sekaligus merupakan sosialisasi data pemilih dan proyeksi Pilgub Bali 2013 kemarin, KPU Bali mengundang para Ketua KPU Kabupaten/Kota se-Bali dan sejumlah parpol.
Ketua DPRD Bali Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi alias Cok Rat juga menghadiri acara sosialisasi kemarin, dengan didampingi Ketua KPU Bali Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa. Sedangkan dari pusat, hadir di antaranya Ketua Pansus RUU Pemilu DPR, Arif Wibowo (dari Fraksi PDIP).
Anggota Divisi Sosialisasi KPU Bali, Ketut Udi Prayudi, mengatakan Pilgub 2013 dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada UU Pemilu yang lama, di mana Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Ini sama seperti Pilgub Bali 2008 lalu, yang dimenangkan paket Made Mangku Pastika-AA Ngurah Puspayoga (pasangan calon yang diusung PDIP).
Dasar hukum pelaksanaan Pilgub Bali 2013 adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Undang-undang ini tetap akan menjadi acuan di mana kepala daerah masih dipilih secara langsung oleh rakyat. Soalnya, aturan baru tentang Pemilu masih dibahas di Pansus RUU DPR,” jelas Udi Prayudi di sela-sela acara sosialisasi kemarin.
Semula, sempat beredar spekulasi Pilgub Bali 2013 sudah menggunakan aturan baru, dengan dipilih melalui DPRD Bali---kembali ke sistem lama. Demikian juga Pemilu Legislatif (Pileg) akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem nomor urut seperti dulu. Sedangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dilakukan melalui DPR.
Spekulasi tersebut muncul karena dalam naskah akademik RUU Pemilu yang diajukan pemerintah, salah satunya menghendaki agar Gubernur dipilih oleh DPRD. RUU Pemilu ini baru mulai dibahas di Pansus DPR. Padahal, Pilgub Bali sudah harus digelar pada Mei 2013, sementara tahapan-tahapannya pun mesti segera dirancang. Karena itu, KPU memproyeksikan Pilgub Bali 2013 masih dengan coblosan langsung.
Ketua Pansus RUU Pemilu DPR, Arif Wibowo, juga menyampaikan pemaparan senada. Pilgub secara langsung tahun 2013 bukan hanya berlaku di Bali, tapi juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia. “Pemilihan secara langsung masih diberlakukan, meskipun pemerintah telah mengajukan naskah akademik RUU Pilkada kepada DPR yang salah satu butirnya menghendaki kepala daerah kembali dipilih anggota DPRD," jelas Arif Wibowo.
Arif Wibowo mengakui, DPR sulit merampungkan RUU Pemilu pada 2012 ini, apalagi langsung diterapkan tahun 2013. Masalahnya, masih banyak RUU lainnya yang harus dibahas DPR. "Setelah menyelesaikan RUU Pemilu yang ditargetkan rampung akhir Maret 2012, DPR dihadapkan pada pembahasan RUU Aparatur Sipil Negara dan RUU Daerah Keistimewaan Jogjakarta," katanya.
Menurut Arif, RUU Pemilu---yang di dalamnya menyangkut Pilgub---termasuk regulasi yang memerlukan pembahasan mendalam dan cukup rumit, karena harus berkesesuaian dengan Undang-undang lainnya. "Jadi, kalaupun nantinya RUU bisa diselesaikan tahun ini, pelaksanaannya tidak bisa di 2013. Apalagi, tahun depan ada banyak sekali digelar Pilkada (Gubernur) di Indonesua. Jika dipaksakan, bisa terjadi diskriminasi: ada yang menggunakan UU lama, ada pula memakai aturan yang baru," terang politisi PDIP ini.
DPR sendiri, kata Arif, sebetulnya ingin mendorong dilaksanakannya Pilkada secara serentak di seluruh Indonesia, sehingga bisa dibiayai APBN, sementara dana APBD dapat digunakan untuk kepentingan rakyat di daerah. "Dengan sistem yang seperti itu (Pilkada serentak), dukungan parpol dalam mencapai stabilitas daerah juga bisa tercapai, karena koalisi yang dibangun seirama dengan hasil koalisi nasional," papar Arif.
Dipaparkan Arif, dalam draft RUU Pemilu yang disampaikan pemerintah ke DPR, yang diharapkan mengefisienkan anggaran ternyata masih terdapat beberapa butir kelemahan. Kelemahan pertama, Pilgub dikatakan diusulkan dilakukan DPRD, tapi masih tetap membolehkan tampilnya calon perseorangan. Sedangkan KPU posisinya adalah hanya sebagai pihak yang memverifikasi pencalonan, sementara pemilihannya dibentuk panitia pusat di DPRD.
"Jika calon diajukan oleh parpol, KPU memang lebih mudah memverifikasi. Tapi masalahnya, ketika ada calon perseorangan, maka KPU harus membentuk badan lagi yang bertugas memverifikasi dari bawah. Berarti akan ada anggaran lagi yang harus dikeluarkan," ujar Arif.
Kelemahan kedua, dalam draft RUU Pemilu disebutkan wakil kepala daerah itu ditunjuk, bukan dengan pemilihan. Itu sama halnya akan dihadapkan pada persoalan otoritas. "Di mana-mana secara teoritik, konsep otoritas pasti yang lebih besar pada yang dipilih. Namun, ketika yang dipilih berhalangan tetap, berarti wakilnya yang notabene ditunjuk yang akan menggantikannya. Ini menjadi soal bagaimana legitimasinya ke depan."
Kelemahan ketiga, mengenai cara pemilihan Bupati/Walikota, yang masih dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Arif, berbicara tentang UU Pilkada, harus merujuk pada UU Pemerintahan Daerah, sedangkan RUU-nya baru dalam tahap persiapan pembahasan.
"Jadi, untuk Pilgub Bali 2013, saya berani mengatakan tidak akan memakai UU yang baru. Masalahnya, untuk RUU yang serumit itu, setidaknya membutuhkan pembahasan selama setahun. Kalau pembahasan dimulai pertengahan tahun ini, kemungkinan baru rampung pertengahan 2013,” katanya. Sementara itu, KPU Bali sudah menyusun rancangan tahapan penting Pilgub Bali 2013. Tahapan Pilgub Bali akan dimulai November 2012 depan, ditandai dengan pemuktahiran data pemilih. Bagi calon perseorangan yang ingin maju melalui jalur Independen, harus mulai mendaftar ke KPU Bali per Desember 2012. Sedangkan bagi calon yang diusulkan partai politik atau gabungan parpol, pendaftarannya dilakukan Februari 2013.
Menurut Ketua KPU Bali, Ketut Sukawati Lanang Perbawa, pasangan calon calon perseorangan bisa maju ke Pilgub 2013 dengan syarat menyertakan dukungan minimal sebanyak 176.000 orang lebih atau 5 persen dari jumlah penduduk. Dasar hukumnya adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 59 ayat 2 a dan b. Disebutkan, untuk provinsi yang memiliki jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta jiwa, maka pasangan Cagub-Cawagub Independen wajib menyetorkan dukungan 5 persen dari jumlah penduduk.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Bali tahun 2011 mencapai 3.522.375 jiwa. Pada tahun 2013 mendatang, jumlah penduduk Bali diestimasi akan mencapai 3.800.000 jiwa lebih. Kalau diambil 5 persennya saja dari jumlah penduduk Bali tahun 2011, maka pasangan calon perseorangan minimal harus menyetorkan dukungan sebanyak 176.119 orang.
Dipaparkan Lanang Perbawa, KPU juga sudah membikin rancangan untuk anggaran Pilgub Bali 2012. Dengan asumsi terjadi Pilgub Bali dua kali putaran, maka anggaran yang dirancang mencapai Rp 133.106.023.649 atau sekitar Rp 133,11 miliar. Rinciannya, biaya putaran pertama Rp 95.172.425.239, biaya putaran kedua Rp 25.166.824.221, dan biaya pemungutan suara ulang Rp 12.766.744.189. "Anggaran sebesar itu kami rancang sudah termasuk untuk putaran pertama, putaran kedua, hingga antisipasi kemungkinan pemungutan suara ulang. Anggaran ini sudah disetujui DPRD Bali," jelas Lanang Perbawa.
Khusus untuk anggaran Pilgub putaran pertama yang mencapai Rp 95,17 miliar lebih, sebagian besar yakni Rp 37,74 miliar (atau 39,65 persen) dialokasikan buat honor dan uang lembur penyelenggara, mulai dari KPPS hingga KPU Bali. Selebihnya, biaya operasional sebesar Rp 27 miliar (28,37 persen), pengadaan logistik Rp 18,29 miliar (19,22 persen), anggaran sosialisasi Rp 6,74 miliar (7,09 persen), pencalonan Rp 3,48 miliar (3,66 persen), serta biaya lain-lain sebesar Rp 1,91 miliar (2,01 persen).
Anggaran Pilgub Bali 2013 ini, kata Lanang, meningkat tiga kali lipat lebih dari biaya Pilgub Bali 2008 silam yang hanya mencapai Rp 43,71 miliar. Membengkaknya anggaran ini dipicu berbagai faktor, seperti naiknya honor Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP), meningkatnya jumlah pemilih, selain juga mengakomodasi tampilnya calon perseorangan di Pilgub Bali 2013.
Estimasi jumlah pemilih pada Pilgub Bali 2013 nanti mencapai 2.773.253 orang. Dengan jumlah pemilih sebanyak itu, diperlukan sekitar 6.359 TPS, bahkan mungkin bisa bertambah seiring proses pemuktahiran data pemilih. Untuk tenaga penyelenggara, kata Lanang, diestimasikan jumlah PPK yang diperlukan mencapai 305 orang, sementara PPS sebanyak 3.570, dan KPPS sebanyak 44.135 orang. 7 nat
Sabtu, 10 Maret 2012
KPU Bali memastikan Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2013 masih tetap menggunakan sistem Pilkada langsung alias dipilih langsung oleh rakyat. Soalnya, Rancangan Undang-undang ( RUU) Pemilu, yang di dalamnya mengamanatkan Gubernur dipilih melalui DPRD, hingga kini belum selesai. KPU Bali pun telah mengajukan anggaran Rp 133,11 miliar untuk Pilgub 2013.
Hal ini terungkap dalam diskusi ‘Proyeksi Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Bali 2013’---lebih akrab disebut Pilgub Bali 2013---yang digelar KPU Bali di Gedung Wiswasabha Utama Kantor Gubernur, Niti Mandala Denpasar, Jumat (9/3). Dalam diskusi yang sekaligus merupakan sosialisasi data pemilih dan proyeksi Pilgub Bali 2013 kemarin, KPU Bali mengundang para Ketua KPU Kabupaten/Kota se-Bali dan sejumlah parpol.
Ketua DPRD Bali Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi alias Cok Rat juga menghadiri acara sosialisasi kemarin, dengan didampingi Ketua KPU Bali Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa. Sedangkan dari pusat, hadir di antaranya Ketua Pansus RUU Pemilu DPR, Arif Wibowo (dari Fraksi PDIP).
Anggota Divisi Sosialisasi KPU Bali, Ketut Udi Prayudi, mengatakan Pilgub 2013 dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada UU Pemilu yang lama, di mana Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Ini sama seperti Pilgub Bali 2008 lalu, yang dimenangkan paket Made Mangku Pastika-AA Ngurah Puspayoga (pasangan calon yang diusung PDIP).
Dasar hukum pelaksanaan Pilgub Bali 2013 adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Undang-undang ini tetap akan menjadi acuan di mana kepala daerah masih dipilih secara langsung oleh rakyat. Soalnya, aturan baru tentang Pemilu masih dibahas di Pansus RUU DPR,” jelas Udi Prayudi di sela-sela acara sosialisasi kemarin.
Semula, sempat beredar spekulasi Pilgub Bali 2013 sudah menggunakan aturan baru, dengan dipilih melalui DPRD Bali---kembali ke sistem lama. Demikian juga Pemilu Legislatif (Pileg) akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem nomor urut seperti dulu. Sedangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan dilakukan melalui DPR.
Spekulasi tersebut muncul karena dalam naskah akademik RUU Pemilu yang diajukan pemerintah, salah satunya menghendaki agar Gubernur dipilih oleh DPRD. RUU Pemilu ini baru mulai dibahas di Pansus DPR. Padahal, Pilgub Bali sudah harus digelar pada Mei 2013, sementara tahapan-tahapannya pun mesti segera dirancang. Karena itu, KPU memproyeksikan Pilgub Bali 2013 masih dengan coblosan langsung.
Ketua Pansus RUU Pemilu DPR, Arif Wibowo, juga menyampaikan pemaparan senada. Pilgub secara langsung tahun 2013 bukan hanya berlaku di Bali, tapi juga di berbagai daerah lainnya di Indonesia. “Pemilihan secara langsung masih diberlakukan, meskipun pemerintah telah mengajukan naskah akademik RUU Pilkada kepada DPR yang salah satu butirnya menghendaki kepala daerah kembali dipilih anggota DPRD," jelas Arif Wibowo.
Arif Wibowo mengakui, DPR sulit merampungkan RUU Pemilu pada 2012 ini, apalagi langsung diterapkan tahun 2013. Masalahnya, masih banyak RUU lainnya yang harus dibahas DPR. "Setelah menyelesaikan RUU Pemilu yang ditargetkan rampung akhir Maret 2012, DPR dihadapkan pada pembahasan RUU Aparatur Sipil Negara dan RUU Daerah Keistimewaan Jogjakarta," katanya.
Menurut Arif, RUU Pemilu---yang di dalamnya menyangkut Pilgub---termasuk regulasi yang memerlukan pembahasan mendalam dan cukup rumit, karena harus berkesesuaian dengan Undang-undang lainnya. "Jadi, kalaupun nantinya RUU bisa diselesaikan tahun ini, pelaksanaannya tidak bisa di 2013. Apalagi, tahun depan ada banyak sekali digelar Pilkada (Gubernur) di Indonesua. Jika dipaksakan, bisa terjadi diskriminasi: ada yang menggunakan UU lama, ada pula memakai aturan yang baru," terang politisi PDIP ini.
DPR sendiri, kata Arif, sebetulnya ingin mendorong dilaksanakannya Pilkada secara serentak di seluruh Indonesia, sehingga bisa dibiayai APBN, sementara dana APBD dapat digunakan untuk kepentingan rakyat di daerah. "Dengan sistem yang seperti itu (Pilkada serentak), dukungan parpol dalam mencapai stabilitas daerah juga bisa tercapai, karena koalisi yang dibangun seirama dengan hasil koalisi nasional," papar Arif.
Dipaparkan Arif, dalam draft RUU Pemilu yang disampaikan pemerintah ke DPR, yang diharapkan mengefisienkan anggaran ternyata masih terdapat beberapa butir kelemahan. Kelemahan pertama, Pilgub dikatakan diusulkan dilakukan DPRD, tapi masih tetap membolehkan tampilnya calon perseorangan. Sedangkan KPU posisinya adalah hanya sebagai pihak yang memverifikasi pencalonan, sementara pemilihannya dibentuk panitia pusat di DPRD.
"Jika calon diajukan oleh parpol, KPU memang lebih mudah memverifikasi. Tapi masalahnya, ketika ada calon perseorangan, maka KPU harus membentuk badan lagi yang bertugas memverifikasi dari bawah. Berarti akan ada anggaran lagi yang harus dikeluarkan," ujar Arif.
Kelemahan kedua, dalam draft RUU Pemilu disebutkan wakil kepala daerah itu ditunjuk, bukan dengan pemilihan. Itu sama halnya akan dihadapkan pada persoalan otoritas. "Di mana-mana secara teoritik, konsep otoritas pasti yang lebih besar pada yang dipilih. Namun, ketika yang dipilih berhalangan tetap, berarti wakilnya yang notabene ditunjuk yang akan menggantikannya. Ini menjadi soal bagaimana legitimasinya ke depan."
Kelemahan ketiga, mengenai cara pemilihan Bupati/Walikota, yang masih dipilih langsung oleh rakyat. Menurut Arif, berbicara tentang UU Pilkada, harus merujuk pada UU Pemerintahan Daerah, sedangkan RUU-nya baru dalam tahap persiapan pembahasan.
"Jadi, untuk Pilgub Bali 2013, saya berani mengatakan tidak akan memakai UU yang baru. Masalahnya, untuk RUU yang serumit itu, setidaknya membutuhkan pembahasan selama setahun. Kalau pembahasan dimulai pertengahan tahun ini, kemungkinan baru rampung pertengahan 2013,” katanya. Sementara itu, KPU Bali sudah menyusun rancangan tahapan penting Pilgub Bali 2013. Tahapan Pilgub Bali akan dimulai November 2012 depan, ditandai dengan pemuktahiran data pemilih. Bagi calon perseorangan yang ingin maju melalui jalur Independen, harus mulai mendaftar ke KPU Bali per Desember 2012. Sedangkan bagi calon yang diusulkan partai politik atau gabungan parpol, pendaftarannya dilakukan Februari 2013.
Menurut Ketua KPU Bali, Ketut Sukawati Lanang Perbawa, pasangan calon calon perseorangan bisa maju ke Pilgub 2013 dengan syarat menyertakan dukungan minimal sebanyak 176.000 orang lebih atau 5 persen dari jumlah penduduk. Dasar hukumnya adalah UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 59 ayat 2 a dan b. Disebutkan, untuk provinsi yang memiliki jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta jiwa, maka pasangan Cagub-Cawagub Independen wajib menyetorkan dukungan 5 persen dari jumlah penduduk.
Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Bali tahun 2011 mencapai 3.522.375 jiwa. Pada tahun 2013 mendatang, jumlah penduduk Bali diestimasi akan mencapai 3.800.000 jiwa lebih. Kalau diambil 5 persennya saja dari jumlah penduduk Bali tahun 2011, maka pasangan calon perseorangan minimal harus menyetorkan dukungan sebanyak 176.119 orang.
Dipaparkan Lanang Perbawa, KPU juga sudah membikin rancangan untuk anggaran Pilgub Bali 2012. Dengan asumsi terjadi Pilgub Bali dua kali putaran, maka anggaran yang dirancang mencapai Rp 133.106.023.649 atau sekitar Rp 133,11 miliar. Rinciannya, biaya putaran pertama Rp 95.172.425.239, biaya putaran kedua Rp 25.166.824.221, dan biaya pemungutan suara ulang Rp 12.766.744.189. "Anggaran sebesar itu kami rancang sudah termasuk untuk putaran pertama, putaran kedua, hingga antisipasi kemungkinan pemungutan suara ulang. Anggaran ini sudah disetujui DPRD Bali," jelas Lanang Perbawa.
Khusus untuk anggaran Pilgub putaran pertama yang mencapai Rp 95,17 miliar lebih, sebagian besar yakni Rp 37,74 miliar (atau 39,65 persen) dialokasikan buat honor dan uang lembur penyelenggara, mulai dari KPPS hingga KPU Bali. Selebihnya, biaya operasional sebesar Rp 27 miliar (28,37 persen), pengadaan logistik Rp 18,29 miliar (19,22 persen), anggaran sosialisasi Rp 6,74 miliar (7,09 persen), pencalonan Rp 3,48 miliar (3,66 persen), serta biaya lain-lain sebesar Rp 1,91 miliar (2,01 persen).
Anggaran Pilgub Bali 2013 ini, kata Lanang, meningkat tiga kali lipat lebih dari biaya Pilgub Bali 2008 silam yang hanya mencapai Rp 43,71 miliar. Membengkaknya anggaran ini dipicu berbagai faktor, seperti naiknya honor Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (PPDP), meningkatnya jumlah pemilih, selain juga mengakomodasi tampilnya calon perseorangan di Pilgub Bali 2013.
Estimasi jumlah pemilih pada Pilgub Bali 2013 nanti mencapai 2.773.253 orang. Dengan jumlah pemilih sebanyak itu, diperlukan sekitar 6.359 TPS, bahkan mungkin bisa bertambah seiring proses pemuktahiran data pemilih. Untuk tenaga penyelenggara, kata Lanang, diestimasikan jumlah PPK yang diperlukan mencapai 305 orang, sementara PPS sebanyak 3.570, dan KPPS sebanyak 44.135 orang. 7 nat
Langganan:
Postingan (Atom)