JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang pemilihan umum,
partai politik maupun kadernya dinilai melakukan pemborosan dana
kampanye. Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem),
dulu pada sistem Pemilu 1999 kampanye hanya dilakukan oleh partai
politik sehingga biaya politik menjadi lebih terjangkau. Namun, pada
Pemilu 2009, selain partai politik, para calon anggota legislatif juga
berkampanye. Hal ini mengakibatkan penambahan dana kampanye. Ini
mengakibatkan kemungkinan penyimpangan dalam mencari dana maupun
ketimpangan diantara kalangan parpol. Di mana hanya parpol berduit yang
memenangkan pemilu.
"Harus ada pembatasan dana kampanye. Bukan
hanya dari penerimaan seperti yang ada dalam UU Pemilu terdahulu.
Pembatasan juga harus dilakukan dari sisi pengeluaran atau belanja
parpol. Dengan membatasi pengeluaran, seorang calon juga tidak perlu
mencari dana sebanyak-banyaknya," ujar Peneliti Perludem, Didik
Supriyanto, dalam diskusi "Membatasi Belanja Kampanye Pemilu" di Bakoel
Koffie, Jakarta, Minggu (18/3/2012).
Oleh karena itu, Perludem
memberikan beberapa masukan yang diharapkan dapat dipertimbangkan dalam
Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam hal belanja partai politik.
Pertama, kata Didik, pembatasan berdasarkan jabatan publik yang
diperebutkan dalam pemilu. Contohnya, calon presiden sebesar 50 miliar
dollar AS, calon gubernur 25 miliar dollar AS, dan wali kota 10 miliar
dollar AS. "Pembatasan nilai memudahkan proses audit laporan keuangan
para calon. Untuk RUU Pemilu, bisa saja menyumbang misalnya Rp 1 miliar
per kandidat dan Rp 250 juta per DPP partai," jelasnya.
Selain
itu, kata dia, pembatasan bisa dilakukan dengan berdasarkan daerah
pemilihan. Semakin besar dapil, kian besar pula batas maksimal dana
kampanye. Secara umum, tutur Didik, dapat dilakukan dengan menetapkan
harga kampanye per pemilih dan dikalikan dengan jumlah pemilih di daerah
tersebut. Pembatasan ini juga dapat dilakukan melalui cara negara,
yaitu menyediakan ruang dan waktu untuk berkampanye di media massa
dengan ketentuan ruang dan durasi yang sama bagi seluruh partai politik
dan peserta pemilu.
"Saat ini parpol dan calon tidak bisa
menghindari kampanye melalui media yang memakan biaya besar. Peran media
sangat besar sehingga kadang tidak semua partai dapat membeli iklan
kampanye terutama di televisi," kata dia.
Masa kampanye, menurut
Didik, juga berperan penting dalam membatasi dana kampanye. Semakin
panjang masa kampanye maka dana yang digelontorkan pun tidak sedikit.
Oleh karena itu, masa kampanye harusnya dikurangi.
Sementara itu,
peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menilai pembatasan
dana kampanye dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa sumbangan perseorangan kepada
partai politik peserta pemilu maksimal Rp 1 miliar, sedangkan sumbangan
badan usaha maksimal Rp 5 miliar. Menurut dia, angka penerimaan tersebut
terlalu besar. "Terlalu besar batasannya sehingga harus diturunkan.
Sekitar Rp 250 juta khusus untuk individu, dan badan hukum Rp 1 miliar,"
jelas Dahlan.
Ia berharap ide penurunan penerimaan dana ini dapat
dipertimbangkan Pansus RUU Pemilu dalam membatasi dana Kampanye. Senada
dengan Didik, kata dia, parpol sebaiknya tidak menggunakan cara instan
dengan menggunakan iklan dan uang semata. Tapi menghitung kebutuhan
sosialisasi per kepala pemilih sehingga dana yang keluar pun terjangkau.
"Harapan kita dari Panja Komisi II agar ide soal menurunkan cost
demokrasi pemilu bisa dimulai dari menurunkan standar penerimaan dan
belanja parpol. Ini juga untuk mencegah penyimpangan seperti korupsi
karena anggot parpol sibuk mencari dana," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar