Senin, 19 Maret 2012

Batasi Pengeluaran Dana Kampanye Lewat RUU Pemilu

JAKARTA, KOMPAS.com — Menjelang pemilihan umum, partai politik maupun kadernya dinilai melakukan pemborosan dana kampanye. Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dulu pada sistem Pemilu 1999 kampanye hanya dilakukan oleh partai politik sehingga biaya politik menjadi lebih terjangkau. Namun, pada Pemilu 2009, selain partai politik, para calon anggota legislatif juga berkampanye. Hal ini mengakibatkan penambahan dana kampanye. Ini mengakibatkan kemungkinan penyimpangan dalam mencari dana maupun ketimpangan diantara kalangan parpol. Di mana hanya parpol berduit yang memenangkan pemilu.
"Harus ada pembatasan dana kampanye. Bukan hanya dari penerimaan seperti yang ada dalam UU Pemilu terdahulu. Pembatasan juga harus dilakukan dari sisi pengeluaran atau belanja parpol. Dengan membatasi pengeluaran, seorang calon juga tidak perlu mencari dana sebanyak-banyaknya," ujar Peneliti Perludem, Didik Supriyanto, dalam diskusi "Membatasi Belanja Kampanye Pemilu" di Bakoel Koffie, Jakarta, Minggu (18/3/2012).
Oleh karena itu, Perludem memberikan beberapa masukan yang diharapkan dapat dipertimbangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu dalam hal belanja partai politik. Pertama, kata Didik, pembatasan berdasarkan jabatan publik yang diperebutkan dalam pemilu. Contohnya, calon presiden sebesar 50 miliar dollar AS, calon gubernur 25 miliar dollar AS, dan wali kota 10 miliar dollar AS. "Pembatasan nilai memudahkan proses audit laporan keuangan para calon. Untuk RUU Pemilu, bisa saja menyumbang misalnya Rp 1 miliar per kandidat dan Rp 250 juta per DPP partai," jelasnya.
Selain itu, kata dia, pembatasan bisa dilakukan dengan berdasarkan daerah pemilihan. Semakin besar dapil, kian besar pula batas maksimal dana kampanye. Secara umum, tutur Didik, dapat dilakukan dengan menetapkan harga kampanye per pemilih dan dikalikan dengan jumlah pemilih di daerah tersebut. Pembatasan ini juga dapat dilakukan melalui cara negara, yaitu menyediakan ruang dan waktu untuk berkampanye di media massa dengan ketentuan ruang dan durasi yang sama bagi seluruh partai politik dan peserta pemilu.
"Saat ini parpol dan calon tidak bisa menghindari kampanye melalui media yang memakan biaya besar. Peran media sangat besar sehingga kadang tidak semua partai dapat membeli iklan kampanye terutama di televisi," kata dia.
Masa kampanye, menurut Didik, juga berperan penting dalam membatasi dana kampanye. Semakin panjang masa kampanye maka dana yang digelontorkan pun tidak sedikit. Oleh karena itu, masa kampanye harusnya dikurangi.
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, menilai pembatasan dana kampanye dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang mengatur bahwa sumbangan perseorangan kepada partai politik peserta pemilu maksimal Rp 1 miliar, sedangkan sumbangan badan usaha maksimal Rp 5 miliar. Menurut dia, angka penerimaan tersebut terlalu besar. "Terlalu besar batasannya sehingga harus diturunkan. Sekitar Rp 250 juta khusus untuk individu, dan badan hukum Rp 1 miliar," jelas Dahlan.
Ia berharap ide penurunan penerimaan dana ini dapat dipertimbangkan Pansus RUU Pemilu dalam membatasi dana Kampanye. Senada dengan Didik, kata dia, parpol sebaiknya tidak menggunakan cara instan dengan menggunakan iklan dan uang semata. Tapi menghitung kebutuhan sosialisasi per kepala pemilih sehingga dana yang keluar pun terjangkau. "Harapan kita dari Panja Komisi II agar ide soal menurunkan cost demokrasi pemilu bisa dimulai dari menurunkan standar penerimaan dan belanja parpol. Ini juga untuk mencegah penyimpangan seperti korupsi karena anggot parpol sibuk mencari dana," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar